Pura
Prajapati Hyang Aluh merupakan tempat umat bagi umat Hindu melaksanakan upacara
ritual dan persembahyangan memohon keselamatan dan kedamaian bagi umat dan alam
semesta. Salah satu kompleks Pura Besakih ada yang bernama Pura Jenggala. Pura
ini juga disebut oleh umat Pura Hyang Haluh. Pura ini terletak di sebelah kanan
Candi Bentar Pura Panataran Agung di seberang jalan atau di sebelah utara jalan
atau menurut pengelihatan umum di barat jalan berseberangan dengan Candi Bentar
Pura Penataran Agung Besakih. Mengapa pura ini
bernama Pura Jenggala dan Pura Hyang Haluh, saya belum menjumpai sumber
penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apa ada hubungannya dengan
Kerajaan Jenggala di Jawa Timur, hal tersebut sungguh masih sangat samar
sekali. Namun dari kata
Hyang Haluh kemungkinan lain nama dari sebutan Ida Ratu Ayu. Kata Hyang artinya
yang suci. Kata Haluh mungkin berasal dari kata Galuh yang menunjukkan
identitas wanita cantik atau ayu.
Karakteristik Bangunan
Hyang
Haluh itu identik atau juga lain nama dari Ida Ratu Ayu. Pelinggih utama di
Pura Jenggala atau Hyang Haluh ini adalah sebuah Gedong beratap ijuk sebagai
tempat pemujaan Ida Ratu Ayu. Ida Ratu Ayu ini adalah salah satu manifestasi
Siwa Durgha sebagai penguasa Setra. Di setra desa
pakraman umumnya disebut Sedahan Setra ada juga yang menyebut Siwa Bairawa.
Pura Jenggala ini oleh Desa Pakraman Besakih difungsikan sebagai Pura
Prajapati.
Pelaksanaan
Upacara/Piodalan
Saat
ada orang ngaben di pura inilah dilangsungkan upacara ngendagin atau ngebug
tanah untuk membangunkan roh orang yang akan diaben. Caranya dengan memukul tanah
tiga kali, tentunya dengan suatu ritual tertentu. Upacara ini
ada juga yang dipimpin oleh Pandita Dwijati. Memukul tiga kali ini adalah suatu
simbol kebaikan atau kesucian. Tiga kali itu simbol tujuan prosesi upacara
Pitra Yadnya untuk mengantarkan Atman yang meninggal dari Bhur Loka dan terus
diharapkan mencapai Swah Loka. Dalam Lontar Gayatri dilukiskan bahwa saat orang
itu meninggal Atman atau rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben
melalui Ngaskara maka rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atman
Wedana seperti upacara Nyekah, Memukur atau Maligia maka Sang Hyang Atma
sebutannya meningkat menjadi Dewa Pitara.
Saat roh masih dalam status Preta keluarganya belum mampu menyelenggara upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang distanakan di Pura Prajapati. Sedangkan stana sementara Sang Roh adalah Sanggah Cukcuk yang umumnya ditancapkan di bagian hulu kuburan. Saat itulah ada upacara matur piuning atau permakluman dan permohonan kepada Sang Hyang Sedahan Setra yang berstana di Prajapati.